Puisi: Ibadah Doa Ia yang Kafir

Dari pikiran kopong.  Dan iman yang melompong kosong.  Tanya yang keronta oleh jawaban.  Kesal ya memengkak leher.  Melihat juga mendengar.  Khalayak tanpa busana.  Berjalan dengan kepala menengadah keatas.  Berdiri dengan congkak Bersuara dengan lantang  Tanpa ketakutan  Mati dan penderitaan hanya ilusi Ilusi dari siklus kehidupan.  Sampai satu masa...  Sukar dan sempit itu datang  Tak ada lagi kepala yang mendongak keatas Suara lantang itu mulai redup Kecongkakan runtuh melebur  Tidakkah hari-hari mendengar  Impiannya sebagai matahari  Namun saat itu ia malah menjauhi rotasi Bersembunyi dan membiarkan bintang lain mengganti Kelabu malam datang... Seseorang duduk bersimpuh Lengan yang merapat  Ditutup sujud  Dengan ucapan  Mantra yang dibalut sesal dan kalut Oh tidak-kah begitu naif "Bagiku untuk bersujud lalu memohon ampunan, Atas dosa yang berulang dilakukan"  "Nampaknya berbohong adalah ha...

Jalan Terjal Untuk Rumah: Bagian I (Antara Manusia, Pertentangan dan Perang)

 

Antara Manusia, Pertentangan dan Perang


Bagian I

Antara Manusia, Pertentangan dan Perang

Disuatu malam…

Dengan keheningan membenamkan raga di dalam tidur yang dalam

Dikasur reot aku tidur dengan suara decit yang semakin lama membuat irama

Lama…lama…kantuk itu semakin meradang, siap menghatarkan ku pada gambaran semu penuh intrik dan imajinasi

“tolong hantarkanku pada mimpi yang indah”

“kalau tidak ajari aku tentang arti bahagia”

Dengan ini aku sampai…

Sampai pada mimpi dimana aku hidup penuh hangat dan cita,

Aku tak bisa jelaskan hanya lewat kata atau bahasa tapi sungguh didalamnya aku tak melihat pisau-pisau yang runcing, berhala-berhala menjulang tinggi maupun gabah, beras sampai gandum yang tersembunyi.

Dalam mimpi itu…

Aku melihat orang-orang saling tegur sapa sembari memukul pundak, tertawa dan memberi doa

“hati-hati dijalan, mudah-mudahan tuhan berikan rezeki padamu hari ini”

Makan bersama dipekarangan rumah bahkan sampai pelipir jalan, setiap orang membawa lauk yang berbeda, dari ikan, ayam dan sayur mayur, mereka makan bersama beralaskan pelepah daun pisang, sederhana memang akan tetapi mengapa hati ini terenyuh melihatnya.

Disisi lain dalam mimpi aku melihat

Orang bertikai tak ada gaduh ataupun lengkingan pita suara

Suara itu keluar dengan lembut lalu ditutup dengan candaan atau tidak, senyuman

Anak-anak sebayaku bermain berlarian kesana-kemari, beteriak sampai tertawa dengan lepas

Aneh…

Karena setiap melewati perempuan dan laki-laki dewasa, mereka menyebutkan dengan istilah yang sama yaitu ayah dan ibu.

Sampai akhirnya aku paham

Paham bahwa anak adalah tanggung jawab mereka

Tidak perduli darah atau keturun siapa

Anak memanglah perlu dianggap harta kepemilikan semuanya

Para petani, peternak, dan buruh

Bersuka ria atas keringat lelahnya itu

Keringat penuh harap agar bisa menopang keluarga

Mereka tertawa… melompat-lompat kegirangan

Karena akhirnya mereka bisa makan untuk bulan-bulan kedepan.

Fajar telah terbit

Beranjak pergi dari ranjang lalu mandi

Segelas kopi pahit untuk pagi ini

Duduk diteras dengan bising rilih

Lirih yang keluar dari tenggorakan dan perut manusia.

Kopi hari ini selalu sama

Menggabarkan penderitaan diatas permukaanya

Menggabarkan tragedi yang mengendap bak ampas.

Aromanya kecut

Rasanya-pun seadanya

Mungkin sedikit saja rasa ikhlas tanpa penindasan membuat kopinya akan sedikit berubah

Atau mungkin sedikit saja cinta kasih tanpa ketakutan membuatnya lebih enak.

Mentari hari ini sangat terik

Tidur diaspal tanpa alas sepertinya nyaman

Atau tidak berjalan puluhan kilo, tanpa makan membuat kita berumur Panjang

Satu lembar uang hari ini langka

Ia bisa mengundang serigala untuk datang ditengah kawanan domba

Ia juga bisa membuat orang alim menjadi pelacur

Pelacur yang dengan bangganya ia tuhankan dunia.

Sudah cukup duduk hari ini

Berjalan-jalan ditengah kota

Dan cukup aku melihat pemandangan indah ini

Mata dan telingaku sakit…

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gadis di Semenanjung Timur

Puisi: Intricatus

PHILOGINIS