Puisi: Ibadah Doa Ia yang Kafir

Dari pikiran kopong. 

Dan iman yang melompong kosong. 

Tanya yang keronta oleh jawaban. 

Kesal ya memengkak leher. 

Melihat juga mendengar. 

Khalayak tanpa busana. 

Berjalan dengan kepala menengadah keatas. 

Berdiri dengan congkak

Bersuara dengan lantang 

Tanpa ketakutan 

Mati dan penderitaan hanya ilusi

Ilusi dari siklus kehidupan. 

Sampai satu masa... 

Sukar dan sempit itu datang 

Tak ada lagi kepala yang mendongak keatas

Suara lantang itu mulai redup

Kecongkakan runtuh melebur 

Tidakkah hari-hari mendengar 

Impiannya sebagai matahari 

Namun saat itu ia malah menjauhi rotasi

Bersembunyi dan membiarkan bintang lain mengganti

Kelabu malam datang...

Seseorang duduk bersimpuh

Lengan yang merapat 

Ditutup sujud 

Dengan ucapan 

Mantra yang dibalut sesal dan kalut

Oh tidak-kah begitu naif

"Bagiku untuk bersujud lalu memohon ampunan, Atas dosa yang berulang dilakukan" 

"Nampaknya berbohong adalah hal yang lebih baik dari mantra doa buta 

Yang keluar dari mulut" 

Diantara sesama 

Berbohong adalah biasa

Saling tipu-menipu adalah budaya

Diantara sesama 

Saling tikam adalah niscaya

Bagi manusia rusak 

Egolah yang dipertuhankan

Di Gelanggang kawanan binatang 

Tuhan adalah pertaruhan

Kita lihat... Cepat atau lambat

Ia yang menang segera membunuh tuhan di kepala.

Setelahnya... 

Dengan lupa 

Ia kembali berdoa dengan penyesalan

Kembali pada fitrah 

Seekor binatang yang lemah dan bodoh

Yang hidup di ladang tandus

Berpikir bisa hidup hanya makan rumput 

Lupa air juga kebutuhan

Tidak juga sadar dimana itu ada

Dan siapa yang menyediakannya 

Terisak, dengan kaku sekujur badan

Bahwa ia merugi 

Tingginya langit tak bisa menjangkau Kecongkakannya

Dan rendahnya bumi tak bisa menopang perilakunya 

Sungguh malang 

Si kafir dipermainkan kehidupan 

Di bui ketakutan 

Di geranyami penderitaan 

Yang tak dapat dipegang dan dilihat

Namun itu terasakan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gadis di Semenanjung Timur

Puisi: Intricatus

PHILOGINIS