Puisi: Ibadah Doa Ia yang Kafir

Dari pikiran kopong.  Dan iman yang melompong kosong.  Tanya yang keronta oleh jawaban.  Kesal ya memengkak leher.  Melihat juga mendengar.  Khalayak tanpa busana.  Berjalan dengan kepala menengadah keatas.  Berdiri dengan congkak Bersuara dengan lantang  Tanpa ketakutan  Mati dan penderitaan hanya ilusi Ilusi dari siklus kehidupan.  Sampai satu masa...  Sukar dan sempit itu datang  Tak ada lagi kepala yang mendongak keatas Suara lantang itu mulai redup Kecongkakan runtuh melebur  Tidakkah hari-hari mendengar  Impiannya sebagai matahari  Namun saat itu ia malah menjauhi rotasi Bersembunyi dan membiarkan bintang lain mengganti Kelabu malam datang... Seseorang duduk bersimpuh Lengan yang merapat  Ditutup sujud  Dengan ucapan  Mantra yang dibalut sesal dan kalut Oh tidak-kah begitu naif "Bagiku untuk bersujud lalu memohon ampunan, Atas dosa yang berulang dilakukan"  "Nampaknya berbohong adalah ha...

Jalan Terjal Untuk Rumah: Bagian II (Langkah Kaku Penuh Pilu)


Jalan Terjal Untuk RumahBagian II (Langkah Kaku Penuh Pilu)

Bagian II

Langkah Kaku Penuh Pilu


Katanya…

Harus sendiri agar langkah lebih kuat

Harus sendiri supaya suara lebih terdengar

Harus terbiasa sendiri agar bisa lebih berkembang

“Dikoyak ketakutan apa itu kebanggaan”

Di dalam Lorong aku terus berjalan tanpa arah, tanpa alas dan penerangan 

Berjalan terpingkal-pingkal, bersenandung memecah sunyi  

“Sedikit lagi...sedikit lagi…kita pulang…sedikit lagi…sampai rumah…sedikit lagi…istirahat…” 

Jejak itu mengukir lukanya sendiri diatas tanah

Membawa kisah tak ramah, atas derita yang mendalam 

Seperti dendam yang teredam senandung, senandung dengan frasa yang buta atas harap yang mustahil terkabul

Gumilir angin mulai mengurai kisah karena seiring waktu hati kehilangan arah, asa mulai retak hitam temaram kelabu beri isyarat untuk mundur, berhenti jalan, sampai disini saja

Disela gundah menyeruak dalam dada

Ada harap yang tiba mendekap

Menghilangkan kalut kusut kehidupan 

Ia adalah mimpi yang sinarnya seirama menggenggam waktu menuntun dan memberi harap untuk keluar, tunjukan jalan

Diluar…

Dengan mata-meratap 

Napas terengah-engah 

Aku melihat…Awan itu menggantung rendah

Lontaran cemooh yang menghinakan itu terucap

“Bukankah kau menjanjikan cahaya megah, padang rumput menghampar, lalu sungai dengan air yang dapat menghilangkan dahaga. Aku terus mencari peluang berjalan walau sendirian, lalu apa yang kau katakan tentang teman itu hanya ilusi semata, kala jatuh aku sendiri, begitupun kala membuka mata”

“Dalam kegelapan aku merengek juga merintih, namun yang terdengar hanya suara pilu diri sendiri, aku hanya melihat warna hitam tanpa putih, jiwa ku terus mendesir, disana…pilu adalah teman setia ia mengajarkan arti luka dan bahagia”

Aku terdiam… dan berucap…

“Kehidupan tak selalu indah rupa, aku harus terus mencari celah untuk bertahan, sampai perlu menanggalkan luka, setiap waktu terus-menerus mengetuk batu dengan harapan muncul percikan cahaya guna menggugah jiwa yang hampir mati rasa, terus meyakinkan diri bahwa aku kuat…aku kuat…terus saja seperti itu”

Akan tetapi…

Setiap luka dalam perjalanan sunyi, pilu dan sepi

Langkah kaki ini adalah bukti,

Bahwa hidup adalah perjalanan sunyi yang selalu punya makna kala bisa diraih

Walau tumpukan pelajaran dan retakan hati yang patah

Ditaksir tak terkira sampai diterka tak terduga 

Warna gelap punya ketetapan memeluk, namun diufuk ada janji yang tergurat, walaupun tidak abadi layaknya prasasti tapi ia terus selalu menjadi satu dalam isi kepala

Maka…

“Atas setiap yang sukar maka mencairlah, demi api walaupun kecil sumbunya terus bertahanlah, dan untuk pagi teruslah datang walaupun malam tetap menjadi ancaman”




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gadis di Semenanjung Timur

Puisi: Intricatus

PHILOGINIS